PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN
Jenderal Besar Sudirman merupakan pahlawan yang pernah untuk
merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan pejajahan. Saat usianya
masih yang masih relatif muda yaitu saat berumur 31 tahun sudah menjadi seorang
jenderal. Walaupun menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya
melawan Belanda.
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto. Mereka adalah keluarga petani.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto. Mereka adalah keluarga petani.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
SOEDIRMAN PANGLIMA BESAR YANG BERPRINSIP
Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, begitu
kata pepatah. Kita teladani Pak Dirman, yang berprinsip, mencintai rakyat,
bijak dan teguh.
Berprinsip.
" … perjuangan kita harus didasarkan pada kesucian," demikian yang disampaikan Pak Dirman dalam pidato pelantikan beliau menjadi Panglima Besar. Prinsip yang mencerminkan sikap jujur, adil, dan dapat dipercaya tersebut beliau pegang teguh dalam setiap tindakan yang beliau ambil. Misalnya saja, setelah menandatangani persetujuan gencatan senjata dengan Belanda, Jendral Sudirman menghormati semua aspek yang telah disetujui kedua belah pihak, walaupun perjanjian tersebut ternyata banyak merugikan negara Indonesia. Dengan prinsipnya tersebut, beliau juga menenangkan pasukannya untuk mengambil sikap bijaksana. Ternyata, pihak musuhlah yang lebih dulu melanggar gencatan senjata yang telah disepakati, dengan melaksanakan Agresi II.
Mencintai rakyat.
Kecintaan Pak Dirman pada Rakyat telah terbentuk jauh sebelum beliau menjadi pemimpin bangsa. Dengan pengetahuan, tenaga, kemampuan yang dimiliki, Soedirman muda yang waktu itu sudah menjadi tokoh masyarakat setempat berupaya membantu rakyat tidak hanya dalam bidang pendidikan (mengajar di sekolah rakyat), tapi juga dalam hal kepemimpinan (melalui organisasi pandu yang beliau pimpin), dan ekonomi (melalui kegiatan koperasi yang beliau rintis). Kecintaan pada rakyat terus berlanjut ketika beliau memasuki masa dinas ketentaraan. Jendral Soedirman sadar bahwa rakyat pada awal berdirinya Republik Indonesia banyak mengalami tekanan baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Beliau juga paham bahwa Tentara Republik Indonesia tidak bisa berjuang sendirian untuk membangun bangsa. Untuk itu Pak Dirman dan pasukan berjuang untuk dan bersama rakyat. Perjuangan rakyat yang pada awalnya cenderung terkotak-kotak berdasarkan idealisme dan kedaerahan dihimbau untuk bersatu melawan musuh yang ingin kembali bertakhta, sambil berupaya terus membangun bangsa walaupun dengan sarana yang terbatas.
Bijak.
Seperti layaknya seorang pemimpin besar, Pak Dirman terkenal sebagai sosok pemimpin yang bijak, baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak. Ketika Presiden Soekarno memerintahkan Jenderal Soedirman dan Pasukan untuk "mundur" sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Renville, sang jendral tidak langsung protes. Dengan saksama Jendral Soedirman memikirkan cara terbaik untuk menjalankan perintah tersebut tanpa mematahkan semangat anak buah yang mungkin saja merasa harga diri mereka terinjak-injak karena harus mundur. Kemudian, sang pemimpin besar memerintahkan anak buahnya dengan kata-kata yang bijak namun tegas untuk "hijrah" dari garis belakang pasukan Van Mook. Masa "hijrah" ini digunakan Jendral Besar Soedirman dan pasukannya untuk membangun strategi dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Teguh.
Keteguhan hati Pak Dirman sudah terlihat sejak masa beliau aktif di kepanduan. Pada suat kegiatan kepanduan di padang terbuka di daerah pegunungan, banyak peserta yang menyerah pada hawa dingin dan bergegas pulang. Tidak demikian dengan Soedirman muda yang teguh bertahan di medan yang dingin untuk menyelesaikan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Keteguhan ini juga diperlihatkan beliau pada masa bergerilya. Walaupun kondisi fisik lemah, Jenderal Soedirman tetap teguh mendampingi pasukannya di lapangan untuk menyusun kekuatan mengusir musuh. Keteguhan ini merupakan salah satu kualitas yang membuat berbagai pihak hormat dan percaya kepada pemimpin bangsa yang satu ini. Perjuangan Jenderal Soedirman menunjukkan bahwa prinsip, kecintaan pada rakyat, sikap bijak, dan keteguhan hati yang senantiasa dilandaskan pada niat yang suci merupakan landasan penting dalam bertindak.
Berprinsip.
" … perjuangan kita harus didasarkan pada kesucian," demikian yang disampaikan Pak Dirman dalam pidato pelantikan beliau menjadi Panglima Besar. Prinsip yang mencerminkan sikap jujur, adil, dan dapat dipercaya tersebut beliau pegang teguh dalam setiap tindakan yang beliau ambil. Misalnya saja, setelah menandatangani persetujuan gencatan senjata dengan Belanda, Jendral Sudirman menghormati semua aspek yang telah disetujui kedua belah pihak, walaupun perjanjian tersebut ternyata banyak merugikan negara Indonesia. Dengan prinsipnya tersebut, beliau juga menenangkan pasukannya untuk mengambil sikap bijaksana. Ternyata, pihak musuhlah yang lebih dulu melanggar gencatan senjata yang telah disepakati, dengan melaksanakan Agresi II.
Mencintai rakyat.
Kecintaan Pak Dirman pada Rakyat telah terbentuk jauh sebelum beliau menjadi pemimpin bangsa. Dengan pengetahuan, tenaga, kemampuan yang dimiliki, Soedirman muda yang waktu itu sudah menjadi tokoh masyarakat setempat berupaya membantu rakyat tidak hanya dalam bidang pendidikan (mengajar di sekolah rakyat), tapi juga dalam hal kepemimpinan (melalui organisasi pandu yang beliau pimpin), dan ekonomi (melalui kegiatan koperasi yang beliau rintis). Kecintaan pada rakyat terus berlanjut ketika beliau memasuki masa dinas ketentaraan. Jendral Soedirman sadar bahwa rakyat pada awal berdirinya Republik Indonesia banyak mengalami tekanan baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Beliau juga paham bahwa Tentara Republik Indonesia tidak bisa berjuang sendirian untuk membangun bangsa. Untuk itu Pak Dirman dan pasukan berjuang untuk dan bersama rakyat. Perjuangan rakyat yang pada awalnya cenderung terkotak-kotak berdasarkan idealisme dan kedaerahan dihimbau untuk bersatu melawan musuh yang ingin kembali bertakhta, sambil berupaya terus membangun bangsa walaupun dengan sarana yang terbatas.
Bijak.
Seperti layaknya seorang pemimpin besar, Pak Dirman terkenal sebagai sosok pemimpin yang bijak, baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak. Ketika Presiden Soekarno memerintahkan Jenderal Soedirman dan Pasukan untuk "mundur" sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Renville, sang jendral tidak langsung protes. Dengan saksama Jendral Soedirman memikirkan cara terbaik untuk menjalankan perintah tersebut tanpa mematahkan semangat anak buah yang mungkin saja merasa harga diri mereka terinjak-injak karena harus mundur. Kemudian, sang pemimpin besar memerintahkan anak buahnya dengan kata-kata yang bijak namun tegas untuk "hijrah" dari garis belakang pasukan Van Mook. Masa "hijrah" ini digunakan Jendral Besar Soedirman dan pasukannya untuk membangun strategi dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Teguh.
Keteguhan hati Pak Dirman sudah terlihat sejak masa beliau aktif di kepanduan. Pada suat kegiatan kepanduan di padang terbuka di daerah pegunungan, banyak peserta yang menyerah pada hawa dingin dan bergegas pulang. Tidak demikian dengan Soedirman muda yang teguh bertahan di medan yang dingin untuk menyelesaikan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Keteguhan ini juga diperlihatkan beliau pada masa bergerilya. Walaupun kondisi fisik lemah, Jenderal Soedirman tetap teguh mendampingi pasukannya di lapangan untuk menyusun kekuatan mengusir musuh. Keteguhan ini merupakan salah satu kualitas yang membuat berbagai pihak hormat dan percaya kepada pemimpin bangsa yang satu ini. Perjuangan Jenderal Soedirman menunjukkan bahwa prinsip, kecintaan pada rakyat, sikap bijak, dan keteguhan hati yang senantiasa dilandaskan pada niat yang suci merupakan landasan penting dalam bertindak.
KATA-KATA MUTIARA SUDIRMAN
Yogyakarta 12 November
1945
Tentara hanya memiliki kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan kewajibannya, tunduk kepada perintah pimpinannya itulah yang merupakan kekuatan dari suatu tentara. Bahwa negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.
Diucapkan dihadapan konferensi TKR dan merupakan amanat pertama kali sejak menjabat sebagai Pangsar TKR. Yogyakarta , 1Januari 1946
Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu "kasta" yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.
Amanat yang tertuang dalam maklumat TKR. Yogyakarta 17 Pebruari 1946
Kami tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara.
Amanat dalam rangka memperingati setengah tahun kemerdekaan RI. Yogyakarta 9 April 1946
Jangan sekali-kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat, bahwa tiap-tiap perjuangan tertentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela temanmu yang telah gugur sebagi ratna, lagi pula untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji kamu tepati.
Tentara hanya memiliki kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan kewajibannya, tunduk kepada perintah pimpinannya itulah yang merupakan kekuatan dari suatu tentara. Bahwa negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.
Diucapkan dihadapan konferensi TKR dan merupakan amanat pertama kali sejak menjabat sebagai Pangsar TKR. Yogyakarta , 1Januari 1946
Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu "kasta" yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.
Amanat yang tertuang dalam maklumat TKR. Yogyakarta 17 Pebruari 1946
Kami tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara.
Amanat dalam rangka memperingati setengah tahun kemerdekaan RI. Yogyakarta 9 April 1946
Jangan sekali-kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat, bahwa tiap-tiap perjuangan tertentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela temanmu yang telah gugur sebagi ratna, lagi pula untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji kamu tepati.
- Percaya kepada kekuatan sendiri
- Teruskan perjuangan kamu.
- Pertahankan rumah dan
pekarangan kita sekalian.
- Tentara kita jangan sekali-kali
mengenal sifat dan perbuatan menyerah kepada siapapun juga yang akan
menjajah dan menindas kita kembali.
- Pegang teguh disiplin tentara
lahir dan batin jasa pahlawan kita telah tertulis dalam buku sejarah
Indonesia, kamu sekalian sebagai putera Indonesia wajib turut mengisi buku
sejarah itu.
Amanat dalam rangka peresmian status kedudukan
TRI bagian udara sejajar dengan TRI lainnya. Yogyakarta 25 Mei 1946.
Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah yang penghabisan. Sanggup taat dan tunduk pada Pemerintah Negara Republik, yang menjalankan kewajibannya, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya. Sejengkal tanahpun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan habis-habisan...................... Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kitapun harus selalu siap sedia.
Amanat dihadapan presiden/panglima tertinggi APRI untuk mengikrarkan sumpah anggota pimpinan tentara. Yogyakarta 27 Mei 1945
Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang sehebat-hebatnya, tidak akan berguna jika kamu mempunyai sifat menyerah ! Kepandaian yang bagaimanapun tingginya, tidak ada gunanya jika orang itu mempunyai sifat menyerah ! Tentara akan hidup sampai akhir jaman, tentara akan timbul dan tenggelam bersama negara !
Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah yang penghabisan. Sanggup taat dan tunduk pada Pemerintah Negara Republik, yang menjalankan kewajibannya, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya. Sejengkal tanahpun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan habis-habisan...................... Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kitapun harus selalu siap sedia.
Amanat dihadapan presiden/panglima tertinggi APRI untuk mengikrarkan sumpah anggota pimpinan tentara. Yogyakarta 27 Mei 1945
Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang sehebat-hebatnya, tidak akan berguna jika kamu mempunyai sifat menyerah ! Kepandaian yang bagaimanapun tingginya, tidak ada gunanya jika orang itu mempunyai sifat menyerah ! Tentara akan hidup sampai akhir jaman, tentara akan timbul dan tenggelam bersama negara !
SOEDIRMAN KECIL
Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari
1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu pada pabrik
gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto.
Mereka adalah keluarga petani. Sejak masih bayi, Soedirman telah diangkat
sebagai anak oleh R.Tjokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat) di Rembang, Distrik
Cahyana, Kabupaten Purbalingga, yang kawin dengan bibi Soedirman. Setelah
pensiun, keluarga Tjokrosunaryo kemudian menetap di Cilacap. Dalam usia tujuh
tahun Soedirman memasuki Hollandsche Inlandsche School (HIS) setingkat Sekolah
Dasar di Cilacap. Dalam kehidupan yang sederhana, R. Tjokrosunaryo mendidik
Soedirman dengan penuh disiplin. Soedirman dididik cara-cara menepati waktu dan
belajar menggunakan uang saku sebaik-baiknya. Ia harus bisa membagi waktu
antara belajar, bermain, dan mengaji. Soedirman juga dididik dalam hal sopan
santun priyayi yang tradisional oleh Ibu Tjokrosunaryo.
SOEDIRMAN REMAJA
Pada tahun 1930, Soedirman tamat dari HIS. Pada
tahun 1932 Soedirman memasuki Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) setingkat
SLTP. Setahun kemudian, is pindah ke Perguruan Parama Wiworo Tomo dan tamat
pada tahun 1935. Di sekolah, Soedirman termasuk murid yang cerdas dan rajin
mengikuti pelajaran yang diajarkan gurunya. Soedirman menunjukkan minatnya yang
besar pada pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah
kebangsaan, dan agama Islam. Demikian tekunnya Soedirman mempelajari agama
Islam sehingga oleh teman-temannya diberi julukan "kaji".
SOEDIRMAN MENJADI PANDU
Ia juga aktif di organisasi kepanduan (sekarang Pramuka) Hizbul Wathon (HW) yang diasuh oleh Muhammadiyah. Melalui kegiatan kepanduan ini, bakat-bakat kepemimpinan Soedirman mulai kelihatan. Ia ternyata seorang pandu yang berdisiplin, militan, dan bertanggung jawab. Hal ini terlihat ketika Hizbul Wathon mengadakan jambore di lereng Gunung Slamet yang terkenal berhawa dingin. Pada malam hari udara sedemikian dinginnya, sehingga anak-anak HW tidak tahan tinggal di kemah. Mereka pergi ke rumah penduduk yang ada di dekat tempat tersebut,hanya Soedirman sendiri yang tetap tinggal di kemahnya.
SOEDIRMAN GURU SEKOLAH,
KETUA KOPERASI, ANGGOTA LEGISLATIF
Setelah lulus dari Parama Wiworo Tomo, ia
menjadi guru di HIS Muhammadiyah. sebagai seorang guru, Soedirman tetap aktif
di Hizbul Wathon. Pada tahun 1936, Soedirman memasuki hidup baru. Ia menikah
dengan Siti Alfiah, puteri Bapak Sastroatmodjo, dari Plasen, Cilacap yang sudah
dikenalnya sewaktu bersekolah di Parama Wiworo Tomo. Dari perkawinan ini,
mereka dikaruniai 7 orang anak. Pada awal pendudukan Jepang, Sekolah
Muhammadiyah tempat is mengajar ditutup. Berkat perjuangan Soedirman sekolah
tersebut akhirnya boleh dibuka kembali. Kemudian Soedirman bersama beberapa
orang temannya mendirikan koperasi dagang yang diberi nama Perbi dan langsung
diketuainya sendiri. Dengan berdirinya Perbi, kemudian di Cilacap berdiri
beberapa koperasi yang mengakibatkan terjadi persaingan kurang sehat. Melihat
gelagat ini, Soedirman berusaha mempersatukannya, dan akhirnya berdirilah
Persatuan koperasi Indonesia Wijayakusuma. Kondisi rakyat pada waktu itu sulit
mencari bahan makanan, sehingga keadaan ini membangkitkan semangat Soedirman
untuk aktif membina Badan Pengurus Makanan Rakyat (BPMR), suatu badan yang
dikelola oleh masyarakat sendiri, bukan badan buatan Pemerintah Jepang. Badan
ini bergerak dibidang pengumpulan dan distribusi bahan makanan untuk
menghindarkan rakyat Cilacap dari bahaya kelaparan. Ia termasuk tokoh
masyarakat karena kecakapan memimpin organisasi dan kejujurannya. Pada tahun 1943,
Pemerintah Jepang mengangkat Soedirman menjadi anggota Syu Songikai (semacam
dewan pertimbangan karesidenan) Banyumas.
SOEDIRMAN MEMASUKI DUNIA MILITER
Pada pertengahan tahun 1943, tentara Jepang
mulai terdesak oleh Sekutu. Pada bulan Oktober 1943, Pemerintah Pendudukan
Jepang mengumumkan pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (Peta). Soedirman
sebagai tokoh masyarakat ditunjuk untuk mengikuti latihan Peta angkatan kedua
di Bogor. Selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Daidanco (komandan batalyon)
berkedudukan di Kroya, Banyumas. Disanalah Soedirman memulai karirnya sebagai
seorang prajurit. Sebagai komandan, Soedirman sangat dicintai oleh bawahannya,
karena is sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Ia tidak takut menentang
perlakuan buruk opsir-opsir Jepang,yang menjadi pelatih dan pengawas
batalyonnya. Sesudah terjadi pemberontakan Tentara Peta Blitar pada bulan
Pebruari 1945, Jepang mengadakan observasi terhadap para perwira Peta. Mereka
yang bersikap menawan (recalcitrant), dikategorikan berbahaya. Pada bulan Juli
1945, Soedirman dan beberapa orang perwira Peta lainnya yang termasuk kategori
"berbahaya" dipanggil ke Bogor dengan alasan akan mendapat latihan
lanjutan. Hanya kemudian ada kesan bahwa Jepang berniat untuk menawan mereka. Sekalipun
mereka sudah berada di Bogor "Pelatihan Lanjutan" dibatalkan, karena
tunggal 14 Agustus 1945 Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Sesudah itu
Soedirman dan kawan-kawannya kembali lagi ke dai dan masing-masing. Pada saat
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandang
kan, Soedirman berada di Kroya. Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945. Jepang membubarkan Peta dan senjata mereka dilucuti, selanjutnya mereka disuruh pulang ke kampung halaman masing-masing. Setelah pengumuman pembentukan BKR, Soedirman berusaha mengumpulkan mereka kembali dan menghimpun kekuatan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bersama Residen Banyumas Mr. Iskaq Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh lainnya, Soedirman melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai. Komandan Batalyon Tentara Jepang Mayor Yuda menyerahkan senjata cukup banyak. Karena itu BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata terlengkap.
kan, Soedirman berada di Kroya. Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945. Jepang membubarkan Peta dan senjata mereka dilucuti, selanjutnya mereka disuruh pulang ke kampung halaman masing-masing. Setelah pengumuman pembentukan BKR, Soedirman berusaha mengumpulkan mereka kembali dan menghimpun kekuatan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bersama Residen Banyumas Mr. Iskaq Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh lainnya, Soedirman melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai. Komandan Batalyon Tentara Jepang Mayor Yuda menyerahkan senjata cukup banyak. Karena itu BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata terlengkap.
SOEDIRMAN MEMIMPIN
PERTEMPURAN AMBARAWA
Ketika Brigade Bethel
mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, selanjutnya pasukan menuju
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Sekutu. Di Magelang tentara
Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti TKR dan membuat
kekacauan. TKR, Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut
dengan mengepung tentara sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari
kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan
suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan kota Magelang
menuju Ambarawa. Akan tetapi Batalyon A. Yani, Suryosumpeno dan Kusen mengejar
pasukan Sekutu tersebut. Satu batalyon dari Divisi Purwokerto, dibawah Iman
Adrongi menghadang gerakan Sekutu di Pingit. Sejak itu pertempuran semakin
meluas. Bala bantuan datang dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta.
Dalam salah satu pertempuran, Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo, Komandan
Resimen TKR Banyumas yang merupakan tangan kanan Panglima Besar gugur. Sejak
gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Divisi V, Kolonel Soedirman merasa
kehilangan perwira terbaik dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin
pertempuran. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat
dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Dalam rapat tersebut Kolonel
Soedirman menjelaskan bahwa posisi lowan sudah makin terjepit sehingga
merupakan peluang yang tepat untuk menghancurkan lawan secepatnya dari
Ambarawa.
Tepat pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945
serangan mulai dilancarkan. Pertempuran segera berkobar di sekitar Ambarawa.
Satu setengah jam kemudian, jalan yang menghubungkan Ambarawa dengan Semarang
sudah dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung
sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik
"Supit Udang" atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali.
Setelah bertempur selama 4 hari 4 malam, akhirnya musuh mundur ke Semarang.
Benteng pertahanan yang tangguh jatuh ke tangan pasukan kita. Tanggal 15 Desember
1945, pertempuran berakhir. Kemenangan gemilang di medan Ambarawa telah
membuktikan kemampuan Soedirman sebagai seorang panglima perang yang tangguh.
Episode gemilang ini telah diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan Ambarawa dan
diperingati setiap tahun oleh TNI AD sebaaai Hari Infanteri atau Hari Juana
Kartika.
PEMILIHAN UNIK PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN
Sewaktu Tentara Sekutu, yang diwakili oleh
Inggris dengan dibuntuti oleh Belanda dibelakangnya mendarat, dan mereka
menuntut senjata Jepang kembali dari tangan kita, maka meletuslah dimana-mana
pertempuran-pertempuran baru. Dulu dengan Jepang, kini dengan Sekutu. Kita
tidak sudi menyerahkan kembali senjata yang kita rebut itu.
Pertempuran-pertempuran baru tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya,
tetapi juga di Semarang, dan yang terbesar serta paling lama adalah di kota
Surabaya, dari 28 hingga 30 Oktober 1945, dan dari 10 hingga 30 Nopember 1945.
Soedirman yang pada waktu itu diangkat oleh Pemerintah sebagai Panglima Divisi
Sunan Gunung Jati atau Divisi V, dan yang bertanggungjawab untuk daerah
Banyumas dan Kedu, menghadapi juga serangan-serangan Inggris yang datang dari
jurusan Semarang menuju ke Ambarawa dan Banyubiru. Berkat semangat kepemimpinan
Soedirman tentara Inggris dapat dienyahkan. Dalam suasana demikian itulah
Kolonel Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar. Yang memilih adalah para
Panglima Divisi dan Komandan Resimen yang berkumpul di Yogyakarta pada tanggal
12 Nopember 1945. Pangkatnya sejak itu adalah Jenderal. Dalam pemilihan itu
beliau mengalahkan colon-colon lain. Ditinjau dari pendidikan kemiliteran, maka
calon-calon lain itu jauh lebih tinggi dari Jenderal Soedirman. Pemilihan yang
unik ini mencerminkan Zeitgeist atau "Semangat Zaman" waktu itu.
Yaitu semangat revolusi dimana-mana. Rakyat kita seakan-akan terserang demam.
Demam revolusi. Semangat perjuangan revolusioner di mana-mana berkobar.
Dikobarkan dalam rapat-rapat umum, yang diselenggarakan oleh kaum politisi kita
dari zaman Pergerakan, dan oleh alat-alat Pemerintahan yang baru dibentuk, dan
karenanya kurang sempurna. Di mana-mana rakyat kita giat merombak sistem
kolonialisme Hindia-Belanda dan sistem militerisme Jepang. Rakyat muak terhadap
kedua sistem kolonialisme dan militerisme masa Iampau itu. Rakyat tidak sabar
lagi, dan di dalam usaha merombak sistem lama itu, tidak jarang timbul gejolak
kekacauan. Serobot-menyerobot, daulat mendaulat dan malahan culik-menculik
adakalanya terjadi. Siapa yang menjalani sendiri situasi pada waktu itu,
benar-benar merasa adanya revolusi, adanya perubahan cepat kilat yang sedang
berlaku. Terutama di kalangan pemuda kita. Seringkali perubahan cepat itu tanpa
aturan "normal". Kadangkadang malahan "anarchistis" sama
sekali. Irosionalitas dan emosionalitas seringkali mengatasi rasionalitas dan
pikiran dingin. Memang itulah revolusi ! Eine Umwertung aller Werte.
Penjungkirbalikkan segala macam nilai. Suatu "razende inspirasi van de
historie". Suatu "ilham yang memandang daripada sejarah". Dan
"ilham sejarah" itu adalah "titik temu dari segala apa yang
merupakan kesadaran bangsa dengan apa yang hidup di bawah kesadaran sejarah
bangsa itu. "He ontmoetingspunt, van het vewuste en het onderbewuste in de
geschiedenis!" Pilihan atas Panglima Besar Soedirman jatuh dalam situasi
demikian. Banyak emosi di bawah sadar ikut menentukan pilihan itu. Banyak
pikiran rasionalistis tidak berkenan masuk dalam pertimbangan pilihan tersebut.
Memang revolusi mempunyai nilai-nilai sendiri. Apalagi revolusi yang berwatak
kerakyatan, seperti revolusi kita dulu itu. Setuju atau tidak setuju,
realitanya ialah bahwa nilai-nilai emosi magis, naluri kharismatis dan
getaran-mistis ikut menentukan jalannya revolusi kita pada waktu itu. Juga
dalam pemilihan Panglima Besar RI untuk pertama kalinya, nilai-nilai tersebut ikut
menentukan. Sudah barang tentu nilai-nilai rasional dan pikiran dingin hidup
Juga pada waktu itu. Namun yang lebih menonjol dan lebih kuat adalah
nilai-nilai emosi magis, naluri kharismatik dan getaran mistis tersebut di
atas. Dan itulah yang kemudian bermuara ke dalam keputusan mengangkat Soedirman
sebagai Panglima Besar. Yang terpilih bukan calon yang memiliki kadar
rasionalitas dan ketrampilan militer teknis yang tinggi, produk dari didikan
Barat di kota-kota besar, melainkan yang terpilih adalah seorang anak rakyat,
dibesarkan di desa, yang kemudian oleh gelombang revolusi terlempar ke atas,
dan merupakan tonggak kepercayaan mayoritas para panglima divisi dan para
komandan resimen yang hadir pada waktu itu. Susunan divisi serta resimen
tentara kita pada waktu itu jauh dari sempurna. Markas-markas pun belum
menentu, dan seringkali harus berpindah-pindah. Para Panglima Divisi serta para
komandan resimen pun tidak semuanya memiliki kepandaian kemiliteran-teknis yang
sempurna, seperti menurut ukuran-ukuran Barat. Kepandaian kemiliterannya boleh
diragukan, namun yang tidak dapat diragukan adalah semangat dan jiwa
perjuangannya membela Proklamasi, melawan kembalinya kolonialisme. Andaikata
pilihan jabatan Panglima Besar pada waktu itu diserahkan kepada Pemerintah
Pusat, maka besar sekali kemungkinan bahwa pilihan tidak akan jatuh kepada
Soedirman. Dan memang, Pemerintahan yang pada waktu itu kekuasaan eksekutifnya
berada di tangan PM Sjahrir menginginkan tokoh lain. Di antaranya Urip
Sumohardjo, seorang tokoh militer didikan Belanda, tetapi berjiwa patriotik.
Juga dikemukakan Sri Sultan Hamengku Buwono, yang pada waktu itu mendapat
pangkat Jenderal Tituler. Dalam rapat para Panglima Divisi dan Komandan Resimen
disebut juga nama-nama Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, yang duduk sebagai Menteri
Penerangan dalam Kabinet Sjahrir. Rupanya pola menempatkan pimpinan ketentaraan
di bawah kekuasaan sipil-politis pada waktu itu hendak diterapkan oleh kaum
politisi. Namun mayoritas hadirin memilih Soedirman. Suatu hal yang unik dalam
revolusi kita. Panglima Besar yang pertama tidak diangkat oleh Pemerintah,
melainkan dipilih secara "demokratis" oleh para panglima divisi dan
komandan resimen. Itulah suasana revolusioner pada waktu itu. Itulah juga
Zeit-geist-nya, atau "semangat zaman" revolusioner yang penuh dengan
jiwa kerakyatan. Elan revolusioner yang meletus keluar ke atas permukaan
masyarakat kita yang sedang bergolak mencerminkan diri dalam hasil pemilihan
tersebut. Elan revolusioner tersebut mempercayakan kepemimpinan tentara kita
kepada seorang pribadi Soedirman. (Dr. H. Roeslan Abdulgani Peranan Panglima
Besar Soedirman dalam Revolusi Indonesia, Restu Agung, Jakarta, 2004,
hal.32-35.
SOEDIRMAN MEMIMPIN PERANG GERILYA
Perkiraan TNI bahwa Belanda sewaktu-waktu akan
menyerang RI, ternyata tidak meleset. Belanda kembali melancarkan agresi
militernya yang kedua. Pasukan Belanda menyerang ibukota RI dan bergerak ke
seluruh wilayah Republik pada tanggal 19 Desember 1948. Pada jam-jam terakhir
sebelum jatuhnya Yogyakarta, dalam keadaan sakit Soedirman menghadap Presiden
dan melaporkan bahwa pasukan TNI sudah siap melakukan rencananya, termasuk
mengungsikan para pimpinan nasional. Jawaban Presiden mengejutkan Soedirman.
Soedirman dinasehati agar tetap tinggal di kota, untuk dirawat sakitnya.
Panglima Besar Soedirman menjawab tawaran Presiden dengan kata-katanya,"
Tempat soya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan
meneruskan perjuangan. Met of zonder pemerintah TNI akan berjuang terus".
Menghadapi Agresi Militer II Belanda, Jenderal Soedirman segera mengeluarkan
Perintah Kilat No. I/PB/D/48. Isinya, pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan
Perang Belanda telah menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo,
Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan genjatan senjata, semua
Angkatan Perang menjalankan rencana untuk menghadapi serangan Belanda. Pada
hari itu juga Jenderal Soedirman meninggalkan Yogya dan memimpin Perang Gerilya
yang berlangsung kurang Iebih tujuh bulan lamanya. Dengan ditandu, ia melakukan
perjalanan gerilya naik turun gunung, masuk hutan ke luar hutan,
berpindah-pindah tempat. Tidak jarang Soedirman mengalami kekurangan makanan
selama berhari-hari. Belum lagi penderitaannya karena pengejaran tentara
Belanda yang ingin menangkapnya. Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta, para
pemimpin militer Belanda ternyata keliru memperhitungkan peranan Pemerintah
Darurat RI (PDRI) dan Soedirman. Belanda hanya memperhitungkan Soekarno-Hatta
dan para politisi sebagai center of gravity dalam perang. Belanda mengira bahwa
dengan menduduki ibukota dan menangkap Soekarno-Hatta, Republik akan bisa
dirubuhkan. Ternyata perkiraan Belanda keliru. Soekarno telah menyerahkan
mandat pemerintahan kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang
sedang berada di Sumatra, sedangkan TNI tetap utuh. Akhirnya Belanda menyadari
kekeliruannya dan kemudian melakukan pengejaran terhadap Soedirman.
PERINTAH SIASAT NO.
1/1948
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I
(Juli 1947) dengan menyerbu wilayah RI, TNI menggelar pertahanan linier yang
konvensional. Pertahanan TNI di beberapa daerah diterobos, pasukan TNI tidak
bergerak mundur, melainkan bergerak ke samping, membentuk kantong-kantong
perlawanan. Ketika Belanda menyatakan batas daerah pendudukannya dan daerah
Republik dengan garis demarkasi, pasukan TNI menduduki kantong-kantong
perlawanan di daerah yang diakui Belanda sebagai daerah pendudukannya. TNI yang
berada di kantongkantong perlawanan inilah yang dalam Persetujuan Renville
dituntut oleh Belanda agar ditarik ke luar am-is demarkasi. Soedirman beserta
stafnya pantang menyerah. Semua kekalahan dan kesalahan dikaji secara mendalam.
Organisasi TNI yang menggelembung harus diperbaiki, TNI harus direorganisasi.
Konsep total people's defence sebagai kebijakan nasional harus segera
dijabarkan. Para pemikir dalam Merkas Besar, seperti T.B. Simatupang dan A.H.
Nasution akhirnya menemukan strategi perongrongan atau attrition strategy.
Strategi ini untuk perang jangka panjang dijabarkan dalam organisasi dan sistem
Wehrkreise. Wehrkreise artinya lingkungan pertahanan, atau pertahanan daerah.
Sistem ini dipakai sejak dari pertahanan pulau sampai daerah-daerah.
Masing-masing komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan
mengembangkan perlawanan. Wilayah Wehrkreise adalah satu karesidenan, yang
didalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan, dan
pemerintahan. Sistem Wehrkreise sama sekali meninggalkan sistem pertahanan
linier. Sistem Wehrkreise ini kemudian disahkan penggunaannya dalam Surat Perintah
Siasat No.1, yang ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman pada bulan
Nopember 1948. Pengambilan keputusan politik yang dilakukan selama Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera mendapat reaksi dari Panglima
Besar Soedirman. Ketika Pangsar Soedirman membaca surat telegram PDRI Sumatera,
is menyatakan bertanggung jawab atas jalannya pertempuran dan menyatakan
sikapnya yang tertuang dalam surat telegram yang isinya : Soal politik dan soul
pertahanan tidak dapat dipisah-pisahkan karena pertahanan menjadi tulang
punggung politik, dan jika ada perundingan tentang penghentian tembak menembak
maka PDRI, Staf Angkatan Perang, dan Panglima Tertinggi harus berkumpul,
sehingga perintah yang dikeluarkan menjadi kuat dan dapat ditaati. Setelah melakukan
perjalanan panjang ke Iuar masuk hutan dan terhindar dari serangan Belanda,
sejak tanggal 1 April 1949 Jenderal Soedirman menetap di Dukuh Sobo, desa Pakis
kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Di tempat ini keadaan Panglima Besar
mulai agak teratur dan dapat mengadakan hubungan dengan Pejabat Pemerintah di
Yogya melalui kurir dan di Sumatera melalui PAB di lereng Gunung Lawu. Selama
bergerilya, Panglima Besar tetap mengeluarkan perintah-perintah harian,
petunjuk, dan amanat, baik untuk TNI maupun rakyat. Strategi perongrongan yang
dilancarkan TNI bersama rakyat berhasil menjemukan kemauan perang pasukan
musuh. Apalagi sesudah dilancarkannya Serangan Umum ke Yogyakarta pada 1 Maret
1949 pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Wehrkreise III yang merupakan
titik balik bagi kemenangan TNI. Belanda kemudian mengajak kembali berunding.
Pada tanggal 7 Mei 1949, Roem-Royen Statement ditandatangani. Berdasarkan
statement ini, akhir Juni 1949, Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat
Pemerintah RI yang ditawan Belanda di Pulau Bangka, dikembalikan ke Yogyakarta.
SOEDIRMAN TURUN KE KOTA
Jenderal Soedirman diminta pulang kembali ke
Yogya. ia dengan tegas menolak perundingan. Beberapa kali utusan Pemerintah
dikirim ke Sobo, namun tidak berhasil melunakkan pendiriannya. Akhirnya
Pemerintah meminta jasa baik Kolonel Gatot Subroto, Panglima Divisi II.
Hubungan pribadi kedua tokoh ini cukup baik. Jenderal Soedirman sangat
menghargainya sebagai saudara tua. Akhirnya tanggal 10 Juli 1949 Panglima Besar
dan rombongan kembali ke Yogya. Di sepanjang jalan, rakyat berjejal-jejal
menyambutnya. Mereka ingin melihat wajah Panglima Besarnya yang lebih suka
memilih gerilya daripada beristirahat di tempat tidur. Kedatangan Panglima
Besar disambut dengan parade militer, di Alun-alun Yogyakarta. Penampilannya
yang pertama sesudah bergerilya diliputi suasana haru. Para perwira TNI yang
selama bergerilya terkenal gagah berani, tak urung meneteskan air mats setelah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan fisik Panglima Besarnya yang
pucat dan kurus. Rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Selama bergerilya
kesehatan Soedirman menurun, beberapa kali ia jatuh pingsan. Setibanya di
Yogyakarta, kesehatan Jenderal Soedirman diperiksa kembali, ternyata paru-paru
yang tinggal sebelah sudah terserang penyakit. Karena itu Panglima Besar
Soedirman harus beristirahat di rumah sakit Panti Rapih. Semua perundingan yang
memerlukan kehadiran Soedirman dilakukan di rumah sakit. Rasa tidak senang
terhadap diplomasi yang ditempuh Pemerintah dalam menghadapi Belanda, masih
membekas di hati Jenderal Soedirman. Pada tanggal 1 Agustus 1949, ia menulis
surat kepada Presiden Soekarno, berisi permohonan untuk meletakkan jabatan
sebagai Panglima Besar dan mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Namun surat
tersebut tidak jadi disampaikan, karena akan menimbulkan perpecahan. Isi surat
tersebut menjadi amat terkenal karena termuat kata-kata : "Bahwa
satu-satunya hak milik Nasional Republik yang masih tetap utuh tidak
berubah-rubah adalah hanya Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional
Indonesia)". Sementara itu kesehatan Panglima Besar semakin memburuk,
sehingga is harus beristirahat di Pesanggrahan Militer, Magelang. Tanggal 6
Juli 1949 Presiden, Wakil Presiden dan pemimpin Indonesia lainnya kembali dari
pengasingannya di Sumatera. Di Ibukota Yogyakarta mendapat sambutan yang meriah
dari masyarakat. Kedatangan para pemimpin RI itu disusul oleh rombongan
Pemerintah Darurat RI pimpinan Mr. Syafrudin. Kembali juga dari medan gerilya,
Panglima Besar Soedirman beserta rombongan tanggal 10 Juli 1949 yang didampingi
oleh Komandan Daerah Militer Yogya, Letnan Kolonel Soeharto. Saat-saat
kembalinya dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Soedirman ternyata tidak
begitu senang dengan rencana kembali ke Ibukota Yogya saat itu, karena di
daerah pertempuran di Jawa dan Sumatera masih banyak bertahan pasukan-pasukan
gerilya TNI. Dan sementara berunding itu Belanda masih terus menerus mengadakan
penyerangan (istilah mereka "pembersihan"). Soedirman sebagai Panglima
Besar masih merasa berat hati meninggalkan para prajurit di medan gerilya.
Disamping itu kecurigaan terhadap kejujuran lawan mengenai perundingan dan
gencatan senjata, sesuai dengan pengalaman Soedirman selama beberapa tahun
bertempur berunding dengan Belanda. Tetapi karena kepatuhannya yang Iuar biasa
kepada Pimpinan Nasional dan adanya surat yang dikirimkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan sahabat karibnya Kolonel Gatot Subroto yang disertai
penjelasan Letnan Kolonel Soeharto, maka Soedirman akhirnya mau turun ke kota,
dimana is langsung melapor kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam suasana
pertemuan yang sangat mengharukan. Setelah itu Soedirman menerima parade
penghormatan dari prajurit-prajurit TNI pimpinan Letnan Kolonel Soeharto di Alun-alun
Lor Yogya. Surat Kolonel Gatot Subroto kepada Pak Dirman sangat sederhana
bunyinya namun cukup menggugah perasaan. Pak Gatot yang kenal betul dengan
Soedirman beserta semua sifatnya menulis antara lain " tidak asing lagi
soya, tentu soya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang
menentukan, tetapi sebagai manusia kita diharuskan ihtiar. Begitu juga dengan
adikku (Soedirman-peny), karena kesehatannya terganggu harus ihtiar, mengaso
sungguh-sungguh jangan menggalih (memikirkan-peny) apa-apa. Coat alles waaien.
lni supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun
buahbuahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa
gembira dan mengucapkan terima kasih kepada yang Maha Kuasa. lni kali soya selaku
saudara tua dari adik, minta ditaati ".
SOEDIRMAN WAFAT
Tanggal 29 Januari 1950 Soedirman wafat, berita
tentang wafatnya Soedirman, yang disiarkan berulang-ulang oleh Radio. Menyusul
perintah Harlan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang RIS, Kolonel T.B.
Simatupang yang ditujukan kepada seluruh tentara berisi Seluruh Angkatan Perang
RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari dengan melaksanakan pengibaran
benders Merah Putih setengah tiang pada masing-masing kesatuan dijalankan
dengan penuh khidmat serta hormat, menjauhkan segala tindakan dan tingkah laku
yang dapat mengganggu suasana berkabung. Pemerintah mengumumkan Hari Berkabung
Nasional sehubungan dengan wafatnya Panglima Besar Soedirman, dan dalam
pidatonya Perdana Menteri RIS Bung Hatta mengumumkan keputusan Pemerintah RIS
untuk menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi
Jenderal. Pukul 11.00 tanggal 30 Januari 1950, iring-iringan jenazah Panglima
Besar Jenderal Soedirman perlahan-lahan meninggalkan kota Magelang menuju
Yogya. Setelah disembahyangkan di Masjid Agung, jenazah dikebumikan dengan
upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta, disamping makam
Letnal Jenderal TNI Oerip Soemoharjo.
KEPEMIMPINAN SOEDIRMAN YANG SEDERHANA
Pertama-tama yang memberikan kesan mendalam,
terutama bagi orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, adalah pribadi
beliau yang sederhana. Kesederhanaan yang polos, memancar langsung dari jiwa
beliau, kesederhanaan yang tak dibuat-buat balk dalam gaya hidup, sikap dan perilaku,
yang mampu membangkitkan kepercayaan kepada anak buah bahwa diri mereka
dipimpin secara jujur menuju cita-cita dan tujuan yang mulia, yaitu tercapainya
kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa. Kesederhanaan tersebut yang memancarkan
pribadi manusia yang utuh dan tidak mementingkan diri sendiri, memancarkan pula
keberanian, kejujuran dan solidaritas terhadap nasib sesamanya, telah melandasi
kharisma beliau.
SEMANGAT NASIONALISME YANG TINGGI
Semangat
nasionalisme yang tinggi merupakan hasil dari penghayatan suara hati nurani
rakyat, kepekaan jiwa terhadap nasib rakyat Indonesia yang sekian lama menjadi
rakyat jajahan, yang oleh penjajah diambil hak-haknya. Nasionalismenya bukan
nasionalisme yang sempit, yaitu yang masih sarat dengan sentimen-sentimen primordial,
seperti yang kits lihat pada berbagai jenis organisasi kelaskaran yang
terbentuk pada awal kemerdekaan. Tetapi nasionalisme yang modern, seperti yang
telah dirintis nilainilainya oleh para pemimpin pergerakan semenjak era
Kebangkitan Nasional. Hal ini memperlihatkan tingginya pemahaman akan proses
tersebut, yang berarti pula tingginya intelegensi. Inilah yang melandasi sikap
sebagai pejuang, yang selalu mampu melakukan pengamatan secara cermat dan tepat
terhadap perkembangan situasi politik yang silih berganti, yang menyebabkan
selalu mampu untuk memilih dan menentukan sikap yang tepat di dalam setiap
situasi yang kritis. Sebagai contoh adalah keputusan untuk segera
mengorganisasikan laskar-laskar perjuangan rakyat dalam satu prototype tentara
nasional, serta keputusan untuk menerima pengangkatan sebagai Panglima Besar
APR! (Nopember 1945) di saat Republik Indonesia masih berusia kurang dari tiga
bulan. Juga keputusan-keputusan berikutnya yang tidak pernah terombang-ambing
oleh aneka pergolakan politik yang berusaha menarik pihak tentara untuk ikut
serta dalam perjuangan politik. Demokratis
Sikap dan perilaku beliau yang demokratis. Tercermin dengan tingginya pemahaman tentang nasionalisme Indonesia, yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari perwujudan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi merupakan bagian dari tuntutan hati nurani manusia. Soedirman, yang hati nuraninya sedemikian peka, ingin mewujudkan bisikan dari nurani itu. Di dalam kehidupan sehari-hari selalu menghargai pendapat dan hak-hak orang lain. Soedirman lahir dan tumbuh dalam suatu lingkungan masyarakat yang diliputi oleh suasana kerakyatan, kegotong royongan, kebersamaan dan kuatnya solidaritas kehidupan. Memahami manfaat keakraban hubungan dengan rakyat, selalu tampil sebagai figur yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya arti kebersamaan dalam suatu perjuangan yang kekuatannya dilandasi oleh keberhasilan dalam menggalang kekuatan rakyat.
Sikap dan perilaku beliau yang demokratis. Tercermin dengan tingginya pemahaman tentang nasionalisme Indonesia, yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari perwujudan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi merupakan bagian dari tuntutan hati nurani manusia. Soedirman, yang hati nuraninya sedemikian peka, ingin mewujudkan bisikan dari nurani itu. Di dalam kehidupan sehari-hari selalu menghargai pendapat dan hak-hak orang lain. Soedirman lahir dan tumbuh dalam suatu lingkungan masyarakat yang diliputi oleh suasana kerakyatan, kegotong royongan, kebersamaan dan kuatnya solidaritas kehidupan. Memahami manfaat keakraban hubungan dengan rakyat, selalu tampil sebagai figur yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya arti kebersamaan dalam suatu perjuangan yang kekuatannya dilandasi oleh keberhasilan dalam menggalang kekuatan rakyat.
PENDIRIAN YANG TEGUH
Pada
situasi kritis dan sulit yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, yaitu sewaktu
ribuan tentara payung Belanda diterjunkan dan menyerang Yogyakarta secara
mendadak, pars pemimpin Republik memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta,
yang berarti mempunyai kemungkinan besar ditawan oleh tentara Belanda. Tetapi
Soedirman membuat keputusan untuk tetap bersama prajurit dan rakyat melanjutkan
perjuangan dengan melalui perang gerilya, walaupun kondisi fisik pada waktu itu
dalam keadaan parah karena penyakit paru-paru yang berat.
Betapa besarnya kerugian psikologis yang akan menimpa perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, apabila pada waktu itu yang menduduki jabatan Panglima Besar dan juga merupakan lambang dan keberadaan TNI, ikut-ikut menyerah dan ditawan oleh musuh. Keteguhan pendirian telah ditopang oleh rasa keagamaan yang sangat kuat, sehingga yang menimbulkan keyakinan bahwa kebenaran tidak akan pernah kalah, dan berjuang mempertahankan tanah air adalah bagian dari kebenaran itu, selanjutnya apabila ajal kemudian menjemput, maka kematian itu adalah bersifat syahid.Keteguhan itu juga ditopang oleh kayakinan terhadap kekuatan nilai-nilai demokrasi, yaitu bahwa rakyat adalah merupakan sumber kekuatan yang tidak akan pernah habis. Keyakinan itu secara terus menerus diusahakan untuk ditanamkan kepada anak buahnya, melalui petunjuk-petunjuk dan keteladanan tentang bagaimana nilai-nilai itu seharusnya diamalkan. Soedirman memang seorang pendidik, lulusan Sekolah Guru Muhammadiyah dan kemudian mengawali karirnya sebagai seorang guru dan baru kemudian terjun ke bidang ketentaraan. Darah, daging, dan jiwanya memang diliputi oleh semangat untuk mendidik dan membimbing orang-orang di sekitarnya menuju terwujudnya nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia juga pengabdian kepada masyarakat secara tulus, juga merupakan seorang yang taat beragama, telah melengkapi keutuhan pribadinya sebagai pendidik yang utama. Keberhasilon mengembangkan gaya kepemimpinan yang mengkombinasi bakat sebagai guru, yang mampu berlaku sabar dan konsisten di dalam membimbing anak didik, serta sikap dasar keagamaan yang yakin kepada kebenaran terhadap perjuangan, tabah dan tawakal didalam menghadapi kesulitan. Soedirman merupakan salah satu contoh terbaik dari prajurit yang mempunyai prinsip : "Satunya Kata Dengan Perbuatan". Di dalam dirinya terkandung jiwa dan semangat keprajuritan yang patut diteladani. Di dalam seluruh perjalanan hidupnya, terukir nilai-nilai luhur kepemimpinan yang secara konsekuen dilaksanakan.
Betapa besarnya kerugian psikologis yang akan menimpa perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, apabila pada waktu itu yang menduduki jabatan Panglima Besar dan juga merupakan lambang dan keberadaan TNI, ikut-ikut menyerah dan ditawan oleh musuh. Keteguhan pendirian telah ditopang oleh rasa keagamaan yang sangat kuat, sehingga yang menimbulkan keyakinan bahwa kebenaran tidak akan pernah kalah, dan berjuang mempertahankan tanah air adalah bagian dari kebenaran itu, selanjutnya apabila ajal kemudian menjemput, maka kematian itu adalah bersifat syahid.Keteguhan itu juga ditopang oleh kayakinan terhadap kekuatan nilai-nilai demokrasi, yaitu bahwa rakyat adalah merupakan sumber kekuatan yang tidak akan pernah habis. Keyakinan itu secara terus menerus diusahakan untuk ditanamkan kepada anak buahnya, melalui petunjuk-petunjuk dan keteladanan tentang bagaimana nilai-nilai itu seharusnya diamalkan. Soedirman memang seorang pendidik, lulusan Sekolah Guru Muhammadiyah dan kemudian mengawali karirnya sebagai seorang guru dan baru kemudian terjun ke bidang ketentaraan. Darah, daging, dan jiwanya memang diliputi oleh semangat untuk mendidik dan membimbing orang-orang di sekitarnya menuju terwujudnya nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia juga pengabdian kepada masyarakat secara tulus, juga merupakan seorang yang taat beragama, telah melengkapi keutuhan pribadinya sebagai pendidik yang utama. Keberhasilon mengembangkan gaya kepemimpinan yang mengkombinasi bakat sebagai guru, yang mampu berlaku sabar dan konsisten di dalam membimbing anak didik, serta sikap dasar keagamaan yang yakin kepada kebenaran terhadap perjuangan, tabah dan tawakal didalam menghadapi kesulitan. Soedirman merupakan salah satu contoh terbaik dari prajurit yang mempunyai prinsip : "Satunya Kata Dengan Perbuatan". Di dalam dirinya terkandung jiwa dan semangat keprajuritan yang patut diteladani. Di dalam seluruh perjalanan hidupnya, terukir nilai-nilai luhur kepemimpinan yang secara konsekuen dilaksanakan.
MONUMEN JENDRAL
SOEDIRMAN
Monumen Soedirman rembangMonumen soedirman terletak kecamatan
rembang purbalingga. margin-bottom: 0cm;">Sebuah rumah tempat Panglima
Besar Jenderal Sudirman di Dusun Rembang, Desa Bantar Bara, Kecamatan Rembang,
Purbalingga, Jawa Tengah, kini dijadikan monumen. Bahkan dalam waktu dekat,
monumen itu akan dilengkapi diorama kepahlawanan bapak Tentara Nasional
Indonesia.
Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, seorang bapak Tentara Nasional Indonesia yang memimpin perjuangan pada masa mempertahankan kemerdekaan berakhir disebuah dusun kecil di Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, 29 Januari 1916. Disebuah rumah yang kini tampak sederhana.
Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, seorang bapak Tentara Nasional Indonesia yang memimpin perjuangan pada masa mempertahankan kemerdekaan berakhir disebuah dusun kecil di Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, 29 Januari 1916. Disebuah rumah yang kini tampak sederhana.
Ditempat yang kini menjadi obyek wisata Monumen Sudirman ini,
diruang belakang terdapat replika ayunan bayi yang berbuat dari bambu dan bok
tempat tidur untuk Sudirman. Disampingnya sepasang meja kursi dan dua buah
dipan, yang sering digunakan oleh Raden Cokro Sunaryo sang ayah untuk beristirahat.
Sementara di ruang depan, merupakan tempat untuk rapat para pejabat Kawedanan. Hanya sekitar 2 bulan bayi bernama Sudirman berada di rumah ini. Karena sang ayah kemudian pindah ke Cilacap. Komplek Monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman yang terletak sekitar 26 kilometer kearah timur Purbalingga ini, telah beberapa kali dipugar.
Sementara di ruang depan, merupakan tempat untuk rapat para pejabat Kawedanan. Hanya sekitar 2 bulan bayi bernama Sudirman berada di rumah ini. Karena sang ayah kemudian pindah ke Cilacap. Komplek Monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman yang terletak sekitar 26 kilometer kearah timur Purbalingga ini, telah beberapa kali dipugar.
Sedangka di sebelah rumah duplikat terdapat masjid yang masih di
gunakan oleh masyarakat sekitar.bagi yang hoby membaca,di monumen juga tersedia
perpustakaan yang lumayan lengkap.
Pada tahun 1979, dua buah meriam dan sebuah tank TNI Angkatan Darat, ditempatkan di gerbang masuk monumen. Didepan rumah terdapat relif yang mengambarkan perjuangan Jenderal Sudirman. Namun kini, obyek wisata ini relatif sepi dan jarang dikunjungi wisatawan.
Menurut Bupati Purbalingga, Triono Budi Sangsoko, Monumen Sudirman akan segera dilengkapi dengan diorama serta taman bermain anak-anak.
Pada tahun 1979, dua buah meriam dan sebuah tank TNI Angkatan Darat, ditempatkan di gerbang masuk monumen. Didepan rumah terdapat relif yang mengambarkan perjuangan Jenderal Sudirman. Namun kini, obyek wisata ini relatif sepi dan jarang dikunjungi wisatawan.
Menurut Bupati Purbalingga, Triono Budi Sangsoko, Monumen Sudirman akan segera dilengkapi dengan diorama serta taman bermain anak-anak.
Wynn Las Vegas & Encore casino news, photos, list and list of
BalasHapusWYNN LAS VEGAS AND ENCORE 메리트 카지노 CASINO, located in Las Vegas, septcasino Nevada. 1xbet korean